Kini Masa Gemilang PNS Kecamatan. Bagaimana Guru?
Kenaikan pangkat otomatis bagi guru itu, sangat membantu para siswa. Mengapa? Karena guru tidak sibuk mengurusi administrasi untuk kenaikan pangkat. Apakah saat ini KPO (Kenaikan Pangkat Otomatis) bagi guru masih berlaku? Simaklah pada video berikut ini.
Konon kini KPO itu dinikmati oleh para PNS di kecamatan seluruh Indonesia, tapi tidak berlaku untuk guru. Tampaknya ini adalah arus balik yang tragis bagi siswa yang membutuhkan perhatian maksimal dari guru. Banyak isu bahwa kenaikan pangkat dan golongan dalam jabatan guru itu, pernah mengalami masa keemasan, berarti saat yang indah itu, kini telah berubah. Patut diakui, saat PGRI berjaya dan berhasil menempatkan wakilnya di gedung MPR. Sosok Prof. Surya memang fenomenal yang gigih berjuang untuk meningkatkan mutu pendidikan lewat kesejahteraan gurunya. Beliau sangat paham karena meniti karir dari guru SD yang terus merangkak jadi Dosen, bahkan jadi Profesor di PTN ternama, di Bandung Utara.
Prof. Dr. H. Mohamad Surya adalah Guru Besar UPI yang pernah jadi ketua PGRI di Jawa Barat. Di akhir hayatnya beliau sebagai ketua Dewan Pembina PB PGRI. Saat beliau duduk di MPR, kenaikan pangkat bagi guru begitu mudah, ini sangat nyata hasil perjuangan yang gemilang. Sayangnya banyak dicemburui.
Memang pada saat para tokoh PGRI yang dipimpin Prof. Surya duduk di MPR, Isu kejayaan Bangsa Jepang “karena menghargai jasa guru” berhembus deras. Itu adalah strategi mengangkat ketauladanan dari bangsa lain yang berhasil maju. Kisah itu begitu bertenaga meningkatkan wibawa guru. Dilengkapi isu persaingan Indonesia dengan Malaysia. Malaysia yang lebih maju karena kesejahteraan guru di tanah jiran itu cukup menggiurkan.
Kini terbalik Malaysia menghembuskan berita terbalik. Konon isunya Indonesia akan jadi negara 3 besar dunia dari segi ekonomi dunia. Tampaknya itu strategi gimmick yang terus dihembuskan negara tetangga. Terbukti seperti telah membuai para pemegang kebijakan. Guru seolah-olah kini dilupakan. Naik pangkat tidak semudah dahulu.
Para tokoh PGRI saat Prof. Surya duduk di MPR, berhasil membius pemegang kebijakan nasional. Seperti kisah pasca “Bom atom Hirosima & Nagasaki” seperti di ungkap pada video di atas. Hingga melahirkan KPO (kenaikan pangkat otomatis) bagi guru di realisasikan. Guru saat itu cukup fokus ke mendidik anak saja, gak usah sibuk ngurus kenaikan pangkat. Dan berhasil pendidikan begitu tertib dan terkontrol. Sistem berjalan dengan baik terutama yunior sangat hormat terhadap guru senioritas, karena pangkatnya lebih tinggi.
Padahal saat KPO bagi guru diterapkan seumpama pepatah “Pohon Menjulang Buahnya Jarang” walaupun begitu, nasib guru saat itu cukup terhibur dengan pangkat & golongan. Dibalik itu, pendapatan guru sangat jauh dari karyawan honorer di Pemerintah Daerah. Ada pameo “Guru berpangkat tinggi jalan kaki, sementara tenaga honorer di PEMDA naik kendaraan pribadi”. Tapi guru tetap setia pada tugasnya yaitu mendidik siswa sampai pensiun. Golobgan IVe dari jabatan guru membuat para guru terharu. Tapi itu adalah dahulu.
Walaupun guru berpangkat tinggi karena dampak KPO, menunjukan fakta tidak membuat mereka sejahtera dari finansial. Tapi dalam batin guru banyak yang merasa cukup sejahtera, karena pangkatnya tinggi menjulang. Guru saat itu begitu tenang beribadah karena saling hormat. Bertolak belakang dengan masa “Guru Penggerak” dewasa ini. Mengapa? Kepala Sekolah berprestasi saja, saat ini “terkebiri.” Mantan guru berprestasi itu, dewasa ini tidak bisa jadi status “penggerak” karena masalah usia. Terkunci tidak bisa daftar jadi “pengawas”. Pengawas syaratnya harus status “guru penggerak”. Pera mantan guru berprestasi itu, kini tersandra.
Begitulah nasib guru yang sering jadi bahan olok-olok dari segelintir kecil muridnya yang pura-pura hormat padahal mereka tidak sungguh-sungguh hormat. Bahkan cenderung diduga berhianat. Tentu saja mayoritas siswa didik begitu menjunjung tinggi moral. Mayoritas dari mereka begitu hormat sama guru. Sayangnya pemegang kebijakan bukan dari siswa mayoritas di atas. Diduga mereka mengenyam pendidikan dari luar, terutama dari medsos dan sumber bacaan dari negara “Antah Brabtah”. Mungkin inilah yang dimaksud dengan salah asuhan. Apa akibat dari salah asuhan itu?
Maka Guru berpangkat tinggi saat itu di jegal aturan terselubung, tidak bisa pindah ke Struktural. Karena guru yang pindah ke struktural, banyak yang melejit naik jabatan hingga ada yang menjadi SEKDA. Padahal tidak sepenuhnya benar. Sejak saat itu Isu sertifikasi guru, jadi bahab “puncak pelecehan”. Mereka menghitung pendapatan guru ditambah dengan tunjangan. Berita ini di obral untuk menyokong pendapatan mereka. Faktanya tidak semua guru berhak mendapatkan tunjangan “sertifikasi”. Seleksi untuk itu begitu ketat, semakin hari semakin rumit.
Kini guru sangat sulit bisa meniru jejak Prof. Surya dari guru SD bisa duduk berjuang di MPR. Karena guru tidak punya modal untuk membuat sepanduk. Guru tidak berani janji palsu, guru tidak pandai “ngiming-ngiming” tanpa bisa direalisasikan. Sementara rakyat jelata lebih suka dibawa ke dunia mimpi palsu, dengan amplop di saku saat pemilu.
Alhasil saat ini sesama pendidik saja saling jegal. Karena aturan yang ada, tidak hormat kepada usia tua. Jika diluar negeri Profesor itu banyak mengajari anak SD. Di NKRI dewasa ini, guru SD sulit pindah ke PTN, apalagi jadi SEKDA. Semua sudah “terkebiri”
Tapi jangan khawatir. Masih ada guru tua, yang terluka karena tersandra itu tetap tawadhu. Tetap ingin berlaga mewakili rakyatnya untuk duduk di DPRD bahkan berjuang di MPR. Siapa itu? Jawabnya banyak sekali. Tapi mereka tidak memasang spanduk. Namun nama dan foto mereka ada di bilik suara. Selamat bertafakur, semoga Allah meridhoi. Wallohualam (Waglo).
Catatan:
Gimmick adalah istilah umum yang merujuk kepada pemanfaatan kemasan, tampilan, alat tiruan, serangkaian adegan untuk mengelabui, memberikan kejutan, menciptakan suatu suasana, atau meyakinkan orang lain.